Wakil Gubernur Jawa Timur Emil Dardak mengajak pemuda untuk menggali lebih dalam soal calon pemimpin jelang Pemilu 2024. Ia berharap, para pemilih muda yang mencapai 60% di 2024 tak hanya mengukur pemimpin dari citra sosial media.
“Meritokrasi sulit, rekam jejak, karena nggak bisa dinilai dari 30 detik atau 1 menit. Ini bahaya. Narasi kompleks jadi simple enggak bisa. Kita sekarang kan biasa disimplikasikan,” kata Emil dalam diskusi terkait politik dan pemuda jelang 2024 CSIS, (14/3).
“Anak muda tuh enggak gitu politik patron. Saya percaya pilihan saya sendiri. Ini yang susah jangkau anak muda. Biasanya kan merujuk tokoh agama, kepala desa. Kalau gitu dia dengerin siapa? Ini yang menarik. Mungkin siapa yang dilihat di TikTok. Jadi hati-hati juga kalau kita enggak mau spend time untuk pahami track record,” imbuh Emil.
Suami Arumi Bachsin itu mengatakan tak masalah memilih pemimpin yang menghibur. Namun ia mengingatkan, banyak persoalan kompleks yang seharusnya bisa diperhatikan anak muda.
“17-39 tahun pemilih muda. Tanggung jawab kami buat anak muda merasa negara hadir sehingga aktif dalam pemilu. Yang dikhawatirkan kalau mereka nggak merasa negara gak signifikan, jadi pragmatis. Pilih aja yang lucu, yang asyik. Padahal banyak hal fundamental, infrastruktur. Katanya pilih A, B, sama aja. Ya kalau gitu lihat track recordnya. Dan inilah yang kita harap bisa dibangun,” jelasnya.
Memang ada orang yang bisa kemas prestasi jadi entertaining, oke, tapi ingat kadang ada hal kompleks. Contoh kita rancang transportasi publik Surabaya, itu bertahun-tahun, kalau kita mau keliatan instan siapa yang tertarik long term? Ini yang kita harap behind story digarap. Banyak figur yang lucu, komunikatif, punya prestasi,” tambah Emil.
Emil memandang pemilih muda cenderung memilih sosok yang dapat mengatasi permasalahan sehari-hari. Mulai dari lapangan pekerjaan hingga pariwisata.
Sebab itu, menurutnya calon pemimpin juga harus bisa menjawab persoalan-persoalan masyarakat. Adapun pemerintah juga harus bisa lebih hadir bagi generasi muda.
“Apa selera pemuda dalam memilih pemimpin? Bisa jadi style. Gaya. Yang dianggap jujur, antikorupsi, itu yang dicari. Di Jatim anak muda memang vokal di medsos. Kita bikin jalur aduan, tapi mereka lebih sering shouting di status. Ini yang jadi ciri khas. Biasanya keluhannya jalan rusak, banjir,” ungkap dia.
Kami harap pemerintah bisa lebih connect anak muda. Masalah terbesar anak muda lapangan kerja. Nah, mereka ngerasa nggak sih lapangan kerja kinerja pemerintah? Kan kayaknya kerja keras sendiri. Nah kita mau gimana anak muda liat stabilitas sosial ekonomi terkait iklim investasi, lapangan kerja. Kalau bisa dibangun, mungkin mereka pemilu terhindar dari pragmatis,” pungkas dia.