Piagam Jakarta; Babak Baru Koalisi Perubahan dan Perbaikan

Baca Juga

Pasca ditandatanganinya perjanjian Ketua Umum Partai (NasDem, Demokrat dan PKS) pada Jumat tanggal 24 Maret yang lalu, penantian sebagian masyarakat sudah terjawab. H. Anies Rasyid Baswedan yang digadang-gadang menjadi pemimpin Koalisi Perubahan dan Perbaikan (selanjutnya dibaca Koalisi Perubahan untuk Persatuan), sudah memenuhi syarat dan resmi diusung sebagai bakal calon presiden oleh ketiga partai tersebut.

Banyak yang menunggu episode lanjutan dari babak baru ini, mengingat nama Mas Anies sudah setahun lebih memenuhi dan mewarnai ruang dialektika publik. Tidak saja di perkotaan, seperti jamur di musim hujan Mas Anies menjadi bahan obrolan hingga gunjingan masyarakat desa. Hal tersebut absah terjadi, karena menjadi pejabat publik harus siap menerima apapun persepsi yang muncul sebagai wujud kebebasan berpendapat.

Sebagai bagian dari salah satu partai pendukung, penulis menginventarisir beberapa hal yang harus segera diselesaikan. Mengingat arus persepsi publik begitu cepat dan deras, sehingga harus dikanalisasi. Hemat saya setidaknya dua hal utama, dari beberapa keyword yang muncul dalam beberapa bulan terakhir semakin mengemuka. Pertama, framing tentang politik identitas, yang kedua adalah konsepsi tentang Perubahan untuk Persatuan.

Terlebih di Jawa Timur, seluruh ahli satu suara bahwa ia adalah battleground pada momentum 2024. Dengan tigapuluh juta suara lebih yang tercatat dalam daftar pemilih tetap, Mas Anies dan seluruh partai pendukung harus mampu meyakinkan pemilih guna meraih kemenangan. Tentu tidak mudah tetapi bukan hal yang mustahil, mengingat karakteristik utama masyarakat Jawa Timur identifikasinya cenderung merujuk pada politik dialogis (Assiyaasat Al-hawariyyah).

Piagam Jakarta

Penulis mengistilahkan selesainya penandatangan dukungan terhadap Mas Anies, dengan penyebutan Piagam Jakarta. Terdapat dua reasoning yang menjadi pijakan akan hal tersebut. Pertama: Piagam Jakarta pernah hadir pada masa awal kemerdekaan republik ini berdiri. Rumusan yang didalamnya berisi tentang manifesto politik, eksistensi Indonesia sekaligus memuat persoalan dasar negara Republik Indonesia (Kusuma & Elson, 2011, Hal 196). Gagasan yang dihasilkan oleh Panitia Badan Penyelidikan Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan pada 22 Juni 1945.

Kedua: Piagam madinah (“m” kecil). Poin ini bukan bermaksud menyamakan atau bahkan merendahkan “konsensus” tersebut. Melainkan untuk mengambil pelajaran (‘ibrah) fakta sejarah yang terjadi pada tahun 622 M. Sebagaimana lazim diketahui, tipologi masyarakat Madinah pada waktu itu tidak jauh berbeda dengan kondisi sosial kita saat ini. Pluralitas yang tidak bisa dihindari, serta ketegangan antar kabilah (suku) muncul akibat primordialism (Tom Holland, 2012, Hal. 383).

Dengan dua alur sejarah itu, Koalisi Perubahan untuk Persatuan hadir. Bukan semata-mata untuk merubah apapun bentuk dan kebijakan pemimpin terdahulu, termasuk didalamnya presiden Joko Widodo. Melainkan memastikan arus kemudi republik ini kembali pada cita-cita awal, sebagaimana Piagam Jakarta dimana almarhum KH. Wahid Hasyim menjadi salah satu pencetusnya.

Begitu juga esensi dalam piagam Madinah, yang kita kenal dalam bahasa arab dengan Shahifatul Madinah. Menjadi cikal bakal berakhirnya polarisasi yang sengit antara Bani Aus dan Bani Khazraj (Mamdouh Syikh,2019). Tidak berhenti dipersoalan dua kelompok tersebut, konsensus ini juga menjamin kebebasan beragama dan berpendapat, mengatur pajak dan perlindungan terhadap kaum minoritas.

Dengan selesainya dukungan ketiga partai politik terhadap Mas Anies sebagai bakal calon presiden, muncul harapan baru tentang masa depan bangsa ini. Bahwa sirkulasi kepemimpinan nasional akan terwujud, walaupun segelintir oknum penguasa mati-matian dalam mempertahankan kekuasaanya. Setidaknya koalisi Perubahan untuk Persatuan sudah menurunkan tensi munculnya sarkasme dalam ujaran cebong vs kadrun.

Kesadaran civil society kian tumbuh, adalah bukti sahih atas kedewasaan bangsa ini. Koalisi perubahan untuk Persatuan adalah anak zaman yang terlahir bukan dari ruang kosong. Ia muncul sebagai buah pemikiran yang reflektif, bukan semata-mata merebut kekuasan tanpa nilai. Ia digagas dengan diskusi panjang, bukan dengan sikap reaktif nir nalar.

Kaidah fiqih mempertegas atas pilihan atau ijtihad politik ini, Ar ridho bissya’i, ridho bima yatawalladu minhu. Artinya, pasrah terhadap sesuatu yang sedang terjadi, berarti rela dengan segala konskuensi yang akan terjadi. Bukankah silang sengkarut yang berkaitan dengan kebijakan hidup orang banyak, hilir mudik dalam beberapa bulan terakhir?. Untuk tidak mengatakan beberapa tahun yang lalu.

Kasus mafia pajak, beberapa skandal di seragam coklat, menggunungnya hutang negara, undang-undang yang dipaksakan hingga tingkah polah pejabat tinggi yang jauh dari etika publik. Sederet kasus tersebut, ibarat puncak iceberg yang bisa mencair dan membanjiri tatanan kebangsaan kita. Masih mau mengatakan Indonesia baik-baik saja?.

Penulis sependapat bahwa, kejadian tersebut murni bukan kesalahan Presiden Joko Widodo yang sedang memasuki fase lame duck. Disisi lain, penulis juga meyakini kekuasan sangat melenakkan dan enggan untuk dilepaskan. Sehingga hulubalang atau penjilat kekuasan akan terus memaksakan kehendak untuk mempertahankannya. Dan jika kita peka, negara auto pilot yang lucu itu bukan dinegara konoha, tetapi disini, tempat dimana kita membaca tulisan ini!. Wallahu a’lam.

Artikel Lainnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- DPC. DEMOKRAT PAMEKASAN -spot_img

Artikel Terbaru